Jumat, 22 Februari 2008

Kisah Awal Perjalanan Kuliah, Cinta hingga Akhir Kuliah

Kisah Awal Perjalanan Kuliah, Cinta hingga Akhir Kuliah

Dombo adalah nama desa kecilku. Desa itu bagian dari Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Letaknya tidak begitu jauh dari pusat kota, kurang lebih 5 km dari pusat kota Semarang dan 4 km dari pusat kota kerajaan Demak. Di tanah itu, saya kedua kakakku dan adik-adikku lahir, bernafas, bernyanyi, bermimpi, memeluk embun, mengecup senja, bercengkrama dengan irama angin, bercanda dengan rintik, menguntai tawa dengan teman sepermainan, mencuri harum masakan. memetik senja, berlari mengejar layang-layang, gebyuran (mandi disungai), mencari sarang burung, mandi matahari, tergelak dalam hujan, menggapai langit, melihat bintang dan bersahabat dengan fajar. Di desa itu saya tumbuh, berkembang dan dibesarkan.

Dahulu….., desaku hijau. Pagi setelah subuh dipenuhi nyanyian kicau burung. Pagi awal waktu dhuha, kumanjakan badan tuk menerima pantulan kehangatan mentari. Biru langit pukul sepuluh dengan awan berarak terasa lebih cerah. Jingga di ujung senja memanjakan warna. Satu, dua bintang selepas maghrib mempercantik warna mega di atap langit sana. Gemerisik dahan tebu dan ilalang bergesekan (kresek kresak :D). Kokok ayam pecahkan pagi. . Roda-roda sepeda yang dikayuh anak-anak sekolah menengah pertama. Lalu lalang petani di gang-gang sempit sawah sana.

Aku masih ingat rumah kecil berpagar kayu tempat saya, ayah, bunda, kakak dan adik-adikku bernaung. Masih jelas bunga teratai ungu kesayangan bunda, masih teringat juga kebun kecil milik tetangga yang penuh dengan aneka bunga. Toko kelontong, yang juga menjual es kucir dan juga cokelat milik bu Munawaroh berdiri tak jauh dari samping kiri rumah saya. sungai tempat saya bermain air dan mincing masih menyisakan kenangan, moshola yang tanpa menara, terlihat jelas dari jendela rumah saya.

Oh ya…. Dulu aku suka berlari di pematang sawah Paklik, dan itu adalah sesuatu yang menyenangkan yang kerap kulakukan. Berlari bukan meniti. Awalnya keseimbanganku sering kali tak terjaga. Terpeleset dan jatuh di sawah menjadi hal biasa. Saya masih ingat saat remang pagi belum menampakkan warna emasnya, saya melewatkan pemandangan embun di ujung-ujung rumput dan batang padi di pematang sawah di Ubud sana. Dan biasanya saya menyeka embun-embun itu lalu kukumpulkan dalam botol kemudian saya simpan dalam lemari.

Dahulu… Kala subuh tiba di ujung timur sana masih memanjakan kilau sinarnya. Saat warna emas sejenak mampir di langit pagi. Ayah, aku dan kakak segera bergegas menuju sepetak tanah warisan dari kakek saya utk memanen buah dari batang jerami. Dan sebelum jam 7 biasanya saya dan kakak pulang dari sawah sarapan apa adanya, lalu mandi, dan kemudian berangkat kesekolah dengan kaki telanjang menusuri jalan berlumpur menuju SDN I Dombo yang terletak 2 km dari rumahku.

Iya. Ayahku seorang petani. Aku dapat hidup dan sekolah sampai menengah dari hasil tanah olahan cangkul ayah. Beliau setiap hari tubuhnya selalu menantang panas terik matahari, bergelut dengan Lumpur, tanah liat dan air sawah demi menghidupi dan menyekolahkanku, kakak dan juga adik-adikku.

Hingga akhirnya pada suatu masa, kala bias srengenge di timur belum juga pudar, aku menerima ijazah SMA. Sejenak lembaran ijazah kertas itu kunikmati sambil melepas rasa capek yang menempel di benak ini. Bingung mau apa? Mau kemana? Bekerja? kuliah? Atau apa? Sementara adak-adikku yang cerdas-cerdas membutuhkan saya.

Hingga suatu malam, keputusan tercipta. Aku pergi meninggalkan desa menuju kota Jogjakarta untuk menimba ilmu, cinta, dan juga bekerja. Dan yang paling utama adalah mencari ilmu dan mengharap ridho-Nya. Akhirnya aku kuliah sambil bekerja. Masih teringat dalam benakku saat pertama kali aku menginjakkan kaki kananku dipintu rumahku, dan saat itu kulihat gurat sedih di wajah ayahku, dan kulihat pula kekhawatiran mae (bunda) atas keberadaanku disana. Aku masih ingat betul pesan ayahku sebelum saya melepaskan langkah dari rumah itu. Beliau berpesan padaku “nak. Jadilah orang jujur, jangan menyakiti sesama dan kamu jangan sampai meninggalkan sholat 5 waktu. Untuk melanjutkan studi lagi adalah pilahanmu. Saya minta maaf karena saya tidak bisa memberi fasilitas dan dukungan financial di setiap hari-harimu, saya hanya bisa memberimu sebait dua bait doa untukmu……….. ”. Dan alhamdulillah pesan beliau masih kupegang sampai sekarang. Walau terkadang subuhku kesiangan :D. dan alhamdulillah kejujuranpun kutanam dalam-dalam hingga sekarang. Kemudian ibuku datang menghampiriku dan memberikan sajadah kepadaku sebagai bekal perjalananku.

Sesampainya di kota Jogja, saya bertemu guru waktu SMA dulu, dan kebetulan di Jogja dia membuka usaha rental pengetikan, dan akhirnya saya ikut dengannya dengan bekerja sebagai tukang ketik, yang gajinya diambilkan dari hasil ketikan yaitu 40 % nya. Dengan begitu hari-hariku tidak pernah terlepas dari kybord, monitor computer dan teks-teks tugas dari mahasiswa mahasisi. Waktuku kuhabiskan bersama dengan habisnya lembar-lebar proposal, paper dan skripi yang berserakan. Sehingga waktu untuk kuliahku tersita, terbengkelai dan terabaikan serta tak terurusi. Akhirnya kuliah hanya kujadikan sebagai sampingan. Yaitu dengan sehari masuk, 3 hari tidak masuk. 3 hari masuk, 6 hari tidak masuk. Weks. Hehe. Ya begitulah. (Tapi di rental pengetikan itu saya banyak mendapatkan ilmu dari guruku dan juga teman2 guruku yang aktif di organisasi PMII).

Agar dapat bertahan hidup, agar dapat membayar SPP, agar dapat berangkat kekampus dengan naik bus, setiap hari kurelakan seluruh jariku menari dengan cepat tanpa lelah bahkan sudah terlalu lelah untuk menari disetiap hari. Setelah sekitar 2 tahun dirental, akhirnya saya memutuskan untuk pindah profesi dari tukang ketik menjadi operator warnet.

saat menjelang akhir bekerja di rental pengetikan saya ditakdirkan bertemu seorang teman yang diutus oleh Tuhan untuk meringkankan beban yang ada dipundak saya. Teman itu bernama Mahfudz Surahmi, anak kelahiran Punorogo, kuliah di Fakultas pertanian UGM. Bagiku dia adalah malaikat utusan Tuhan yang ditugaskan khusus untuk menolong saya. Setiap saya mengalami kesulitan financial untuk membayar SPP, pasti dia yang mengulurkan tangan dengan membawa 200 ribu untuk dipinjamkan kesaya, 150 ribu, dan 300 ribu, dan saya terharu ketika dia meminta saya tidak membayarnya. Dia mengikhlaskan begitu saja tanpa diminta. Dan setiap akhir Ramadan dia juga menitipkan 500 ribu untuk diberikan kepada keluarga saya. dia memang dermawan.

Kembali ke perjalanan….

Internet adalah pusat dari seluruh informasi, setiap hari saya disuguhkan dengan masalah-masalah berita-berita kriminal, korupsi, politik, diskriminasi, penggusuran, seks, penganiayaan dan lain-lain. Hingga membuatku jengah dan lelah karena tidak bisa memberi solusi dan memberikan perlindungan pada mereka yang diperlakukan tidak adil oleh kaum dan bangsanya sendiri. Akhrinya saya malas dan bosan dengan berita-berita yang menyesakkan jiwa. Dan saya memilih untuk mencari berita-berita hiburan, artikel-artikel keagamaan, puisi-puisi persahabatan dan cinta serta bermain hiburan dengan berchating ria dengan wanita yang semula tidak kumengerti asal usulnya.

Dari chating itulah awal kisah percintaanku di Jogjakarta pertama kali kumulai. Dari Fallia Maunentia kemudian Eggie Fitriya Agustina Saragi, dua nama itulah yang mengisi disetiap jejak langkah hidupku.

Sehingga…

Ditiap malam berjam-jam aku tak letih mengungkapkan kata-kata
jari-jari ini tak lelah menari diatas kybord penuh cinta

mata tak letih membaca kalimat-kalimat di atas meja
Lepaskan nada-nada bersenandung bahagia lewat kata-kata canda suka
Hingga malam terlewati dengan begitu cepatnya

Meninggalkan kisah yang tak mungkin terlupa
Saat terdengar bisik-bisik adzan menggema ditelinga
Subuh memanggil kita untuk sejenak melepaskan kisah kita
Lalu kita susun kalimat doa tentang cinta.

Tapi cinta yang mendalam terhadap seseorang itu tak berujung dengan kebahagiaan.

Tak ada cinta yang disuguhkan dengan sepenuh hati, tak ada yang memandang cinta dengan mata hati, dan tak ada yang mendekap hati dengan tangan cinta yang tak memandang siapa dia… cinta itu hanya ada dalam alam maya, tak ada dalam alam nyata. Dan saya tertatih dan tersungkur membawa cinta itu dalam setiap langkahku. Dan jujur saya sangat bahagia ketika bisa bersamanya, saat berbagi dengannya, ketika saat berdua dengannya. Namun semua itu hanya sesaat, bahagia itu hanya sebatas lewat kemudian lenyap. Mungkin, seorang seperti saya belum pantas untuk mendapatkan bahagia karena cinta. Hingga raungan puisi menggema dalam ruang hati saya….

Berdiri terdiam diantara empat sudut keramaian
Mencekik hati dan meremas remuk kejiwaan
Suara-suara hanya terdengar menghampakan
Terbebas berlari dan teriak dalam kungkungan

Waktu melambat menyeret menuju kesunyian
Menjerat kata dalam kepala tak teralirkan
Dada bergemuruh berhentak tuk muntahkan
Betapa teramat dalam hampa ini tenggelamkan

Siapakah yang mampu hadirkan kehangatan
Tanpa aku bisa berikan segala pengertian
Apakah yang bisa rajutkan ketenangan
Sedang Tuhan hanya untuk kuserahkan.

Dua tahun lebih saya bekerja menjadi operator warnet, saya terperosok dalam rutinitas yang membosankan kadang juga sering menyenangkan. Akhirnya gempa 27 mei menggoyang bumi Jogjakarta, dan hatiku terpanggil untuk membantu mereka yang hidupnya dihimpit kesedihan dan kesusahan karena jiwa dan harta benda mereka tergoncang dan hilang karena lempengan permukaan tanah yang sudah tua dan malaikat penyangga buminya sudah lelah karena melihat tingkah polah penghuni bumi yang tak dapat mengikuti arah cahaya agama. Akhirnya saya menjadi relawan di kampus tempat saya belajar yaitu UIN sunan Kalijaga Jogjakarta, dari situlah kemudian saya ikut bergabung dengan LSM Komunitas Yogyakarta hingga sekarang.

Sebenarnya saat yang paling membahagiakan selama saya disini (jogja) adalah saat saya bisa bersama dengannya, walau hanya sekali dua kali saja. Walau hanya bertemu dua kali wajah dan bayangnya tak pernah sirna, pendaran cahaya wajahnya selalu mengisi disetiap sudut hati dan bahkan jiwa ini.

Waktu itu sudah 3,5 tahun perjalanan kuliahku, artinya saya sudah menginjak semester 7, dan saya harus membayar SPP, KKN dan kost-kosan secara bersamaan. dimasa itu saya benar-benar mengalami kesulitan financial. Saya tak tau harus bagaimana, ingin menjual sesuatu yang berharga, namun saya tidak punya barang yang berharga yang bisa saya jual kecuali HP. Setelah segala usaha tak mendapatkan jawaban, kecuali hanya kebuntuan, saya berdoa dan berpasrah kepada Allah Swt. Akhirnya Tuhan berbaik hati dengan mengirimkan khalifah-Nya di bumi untuk menolong saya. khalifah itu bernama Idah Herawati, dan saya biasa memanggilnya mbak Ida. Dan dia sudah menganggap saya sebagai bagian dari keluarganya. Akhirnya tanpa aku meminta, dia memberiku sejumlah uang untuk membayar kos dan kkn saya. Selain itu, mbak ida memberi fasilitas motor kepadaku untuk pergi kuliah dan menjemput anaknya pulang sekolah.

Sebelum saya menginjakkan kaki di tanah Jogja, saya sudah memutuskan untuk hidup mandiri, hidup diatas kaki sendiri dan aku tidak perlu menopang kaki orang lain untuk berdiri, dan tidak perlu pinjam dari tangan orang lain untuk menganggkat sesuatu kepundak ini. apapun yang akan terjadi nantinya akan kujalani, kuhadapi dan kuselesaikan sendiri. Ya… dengan kemampuan dan kekuatan yang kumiliki. Kecuali ada orang yang dengan ikhlas hati membantu dengan senang hati. Saya akan sambut pertolongannya dengan senang hati pula.

Dengan mandiri maka saya benar-benar terlepas dari orang tua. Dengan begitu mungkin akan terasa lelah, capek dan berat …… walau berat, aku harus kuat, aku harus tegar, tidak boleh lemah, dan tidak boleh cengeng. Tidak boleh menyerah dengan keadaan… hidup Sance… hahaha…

Memang selama ini yang kujalani terasa melelahkan, karena finansial yang tidak mendukung. Apalagi ketika waktu untuk bayar kost, listrik dan SPP waktunya bersamaan, seperti yang kuceritakan di atas. Tidak hanya itu saja, jika finansial tidak memungkinkan kadang untuk pergi kekampus aku harus jalan kaki sendirian dibawah terik matahari yang dingin (jika dibandingkan dengan neraka), dengan jarak yang lumayan jauh dengan jarak tempuh kost – kampus 1 jam jalan kaki.

Walaupun seperti itu…. Kujalani dengan senang hati. Ternyata berat juga ya hidup terlepas dari ortu. Ternyata susah juga jadi anak orang miskin. Tp sptnya susahnya hanya pada fisik saja. Klopun susah dihati hanya gara2 persoalan cinta. Weks!

Mungkin lumrah dan wajar dengan aku yang sepeti ini….. aku sedikit teman, (mungkin yang menganggap saya sebagai temannya adalah saiful rizal, (yg setia nemenin jalan kaki), ifut (anak yatim), dan kumed (anak piyatu) apalagi seorang kekasih. Seuatu yang wajar, wajar wajar saja…… (lhoo bukanya aku kemarin baru menolak ce? Hehe) maaf bukannya aku ingin menolakmu. tapi….. mungkin aku lelaki angkuh yang tidak bisa belajar mencintai dari orang yang tidak kucintai.

Maaf bukan maksud hati tuk menyakiti

Tak bermaksud sayap cintaku tak mau menyambut hatimu

Tapi hati ini benar-benar sudah terisi oleh seseorang

Walau seseorang itu masih dalam batas angan dan harapan

Semoga kau mengerti.

***

Kepura-puraan adalah suatu kemunafikan, maka musnahkan

Ketulusan adalah nilai keabadaian, maka pertahankan

Kemandirian adalah kekuatan, maka jangan menyerah.

Bersambung………

Tidak ada komentar: